Oleh: Diky Dwiyanto
Email: dikydwiyanto@gmail.com
Danau Lindu (Sigi: Sulawesi Tengah) merupakan salah satu danau yang terletak di Sulawesi Tengah, selain Danau Poso. Danau ini tepatnya berada pada jalur sesar aktif Palu-Koro di sebelah selatan Kota Palu. Meskipun keberadaan danau ini masih kurang populer dibandingkan Danau Poso dan Sistem Danau Malili, Danau Lindu juga memiliki keunikan tersendiri, yaitu letaknya yang berada pada ketinggian di atas 900 meter dari permukaan laut. Masyarakat disekitar Danau Lindu umumnya mendiami sisi bagian barat dan timur danau. Selain itu, kawasan Danau Lindu masuk dalam kawasan enclave Lindu yang dikelilingi kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Tahun 1999.
Gambar 1 Bentang alam Danau Lindu, Sigi Sulawesi Tengah
Rekam Peradaban Lindu dari Masa ke Masa
Secara umum, masyarakat yang mendiami daratan Lindu, terdapat pada 5 desa, yaitu Desa Puroo, Desa Langko, Desa Tomado, Desa Anca dan Desa Olu. Masyarakat asli Lindu berasal dari suku Kaili Tado, yang merupakan bagian dari Suku Kaili. Seiring dengan munculnya peradaban di Danau Lindu, maka cerita rakyat tentang peristiwa terbentuknya Danau Lindu pun mulai banyak dikenal, yang salah satunya yaitu akibat perkelahian seekor anjing milik raja dengan seekor Lindu (belut) dan bekas perkelahian tersebut kemudian menjadi danau. Peradaban di sekitar Danau Lindu telah diyakini ada sekitar 2000 hingga 1000 tahun yang lalu, dibuktikan dengan adanya situs megalith juga hasil analisis lainnya (pollen, charcoal dan diatom) (Liang-Chi et al. 2012). Pada zaman dahulu, masyarakat belum mendiami daerah sekitar danau seperti saat sekarang ini, namun diwilayah pegunungan hingga pada saat masuknya kolonial Belanda, masyarakat mulai diajarkan bercocok tanam dan mengolah lahan pertanian yang subur di sekitar danau. Penduduk asli Lindu menyebut diri mereka To Lindu atau “Orang Lindu” yang kemungkinan masyarakat asli Kaili di sekitar wilayah Sigi. Namun, legenda keberadaan Raja Sawerigading yang berasal dari Kerajaan Bone juga memungkinkan adanya pencampuran asal usul suku yang ada di Danau Lindu (Yetti, 2016).
Pada sekitar tepatnya 22 Juli 1902, dua orang naturalis berkebangsaan Swiss tiba di Lindu, setelah sebelumnya menjelajah beberapa wilayah meliputi Palu hingga Kulawi. Mereka bernama Paul Benedict Sarasin dan Fritz Sarasin yang mendokumentasikan ekspedisinya selama berada di Sulawesi dalam sebuah buku berjudul “Reisen in Celebes”, termasuk mengunjungi Danau Lindu. Kata “Lindu” dapat ditemukan dalam buku ini, bahkan terdapat foto bentang alam Danau Lindu yang diambil dari sudut Desa Langko (Gambar 2). Dalam keterangannya, disebutkan dalam Bahasa Jerman “Der Lindu-See von Südwesten aus; im Hintergund der Ngilalaki, rechst die Häuser von Langko” (Danau Lindu dari barat daya; di latar belakangi Nokilalaki, di sebelah kanan rumah-rumah Langko). Lokasi pengambilan kemungkinan disekitar perumahan yang saat ini jalan menuju kantor Balai Benih Ikan (BBI), ditandai dengan adanya tanah lapang dalam foto yang mereka ambil, beserta terdapat rumah kecil ditengah dan banyaknya tumbuhan paku (lihat Gambar 16, Hal. 49 Bab VII dalam buku Reisen in Celebes).
Gambar 2 Bentang alam Danau Lindu yang diambil dari Buku ekspedisi Sarasin bersaudara di Sulawesi.
Gambar 3 Gunung Nokilalaki yang difoto dari Desa Langko yang kemungkinan merupakan tempat Sarasin mengambil foto Danau Lindu satu abad yang lalu.
Fauna Endemik Danau Lindu
Pulau Sulawesi yang terletak di kawasan Wallacea, sebuah wilayah biogeografi dengan keunikan fauna yang berasal dari daratan Asia (Sunda Shelf) dan Australia (Sahul Shelf) (Lohman et al. 2011), sudah dikenal dengan berbagai kekayaan flora (tumbuhan) maupun fauna (hewan). Danau Lindu adalah salah satu contoh dari sekian banyak ekosistem di Pulau Sulawesi yang memiliki fauna endemik. Kata “endemik” atau endemism merujuk pada spesies yang secara persebarannya hanya ditemukan atau terbatas pada suatu wilayah/ekosistem tertentu meliputi pulau, wilayah bagian (state), negara atau zona lainnya (Wikipedia, 2022). Beberapa fauna endemik Danau Lindu meliputi ikan, siput, kepiting dan udang. Persebaran spesies tersebut tidak hanya terdapat pada bagian danau, namun juga sungai-sungai kecil yang menjadi inlet Danau Lindu. Daftar spesies endemik Danau Lindu dapat dilihat di bawah ini.
A. Ikan
Genus Oryzias Jordan & Snyder, 1906
1. Oryzias sarasinorum (Popta, 1905) (Sarasins’ Buntingi)
Spesies ikan ini pertama kali ditemukan oleh Fritz dan Paul Sarasin pada Tahun 1902, yang kemudian dideskripsikan oleh Popta pada 1905 (Parenti, 2008). Nama spesies ini pun diambil dari nama penemunya yaitu Sarasin bersaudara. Masyarakat Lindu umumnya menyebut ikan ini dengan nama ikan rono. Spesies ini hanya ditemukan di Danau Lindu, dengan salah satu wilayah persebarannya yaitu bagian barat danau, dekat Desa Anca (Lovu) (Herjayanto et al. 2008). Spesies ini memiliki keunikan pada tahap reproduksinya, yaitu betina yang membawa telur (embrio) pada sirip pelvic (pelvic fins) dan perut hingga menetas (Parenti, 2008) sehingga disebut juga pelvic-fin brooding. Habitat O. sarasinorum yaitu perairan danau yang landai, dengan tumbuhan dali serta substrat berpasir (Herjayanto et al. 2008).
2. Oryzias bonneorum Parenti, 2008 (Bonnes’ Buntingi)
Spesies ikan Oryzias bonneorum dulunya dianggap masih spesies yang sama dengan O. sarasinorum, sebelum akhirnya dilakukan studi mendetail terhadap koleksi spesimen dari C. Bonne dan J. Bonne-Wepster, ahli Entomologi (serangga), yang mengoleksi ikan ini pada Tahun 1939 dari Danau Lindu. Dari dulu hingga saat ini belum diketahui bentuk asli ikan ini dalam keadaan hidup. Ikan ini dapat dibedakan dari O. sarasinorum melalui bentuk tubuhnya yang lebih lebar serta tidak adanya garis mid-lateral berwarna silver pada tubuh (Parenti, 2008). Lokasi persebaran spesies ini di Danau Lindu beserta deskripsi habitatnya belum diketahui secara pasti sehingga masih sangat diperlukan kajian lebih lanjut dengan upaya eksplorasi di Danau Lindu. Sama halnya dengan O. sarasinorum, spesies ini juga merupakan ikan pelagis yang menyukai perairan terbuka danau.
Gambar 4 Ikan Oryzias sarasinorum dari Danau Lindu.
Genus Nomorhamphus Weber & de Beaufort, 1922
3. Nomorhamphus versicolor Kraemer, Hadiaty & Herder, 2019
Kelompok ikan ini termasuk dalam family Zenarchopteridae atau dikenal dengan nama halfbeak fish atau Anasa (disebut juga dengan istilah Julung-julung). Karakteristik utama ikan ini, yaitu memiliki bagian mulut bawah (lower jaws) yang memanjang menyerupai paruh/moncong (beak). Ikan N. versicolor ini ditemukan pertama kali dari aliran sungai kecil di pegunungan bagian utara Danau Lindu, dekat Desa Puro’o (Kraemer et al. 2019; Wicaksono et al. 2022). Genus Nomorhamphus di Sulawesi terdiri atas 13 spesies, dan salah satunya merupakan endemik Danau Lindu. Keunikan dari Ikan Anasa dari inlet Danau Lindu yaitu memiliki lower jaw yang pendek dibanding spesies lainnya, meskipun juga ada Nomorhamphus lain yang tidak memiliki perpanjangan (beakless) pada lower jaws, yaitu N. aenigma dari Sungai Cerekang, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Kobayashi et al. 2020). Ikan Anasa dari Danau Lindu masih sangat sedikit diteliti dan memerlukan perhatian khusus dalam memahami berbagai keunikan ikan ini.
Gambar 5 Ikan Oryzias bonneorum dari Danau Lindu.
Gambar 6 Ikan Nomorhamphus versicolor dari inlet Danau Lindu
B. Kerang
Genus Corbicula Megerle von Mühlfeld, 1811
4. Corbicula linduensis Bollinger, 1914
Danau Lindu memiliki jenis kerang air tawar khas Danau Lindu, yaitu Corbicula linduensis. Meskipun masih banyak pertanyaan mengenai spesies ini, terutama wilayah distribusinya yang sejauh ini baru diketahui hanya berada di Danau Lindu berdasarkan laporan beberapa tulisan lama (Bollinger, 1914; Djajasasmita, 1977). Karakteristik spesies ini pun masih sangat sedikit tersedia, dikarenakan masih terbatasnya kajian mengenai sistematika dan taksonomi spesies ini. Selain itu, spesies ini memiliki kemiripan dengan spesies lainnya, yaitu C. moltkiana (Djajasasmita, 1977). Meskipun demikian, C. linduensis bukan menjadi satu-satunya spesies Corbicula di Danau Lindu, dikarenakan adanya spesies invasive lainnya, yaitu C. fluminea (Kisman et al. 2020). Dalam situs MolluscaBase eds. (2022) Corbicula linduensis menyandang satus uncertain/taxon inquirendum atau validasi spesies belum diketahui.
Gambar 7 Corbicula cf. linduensis dari Danau Lindu
C. Kepiting
5. Parathelphusa linduensis (Roux, 1904)
Kepiting P. linduensis merupakan satu-satunya spesies kepiting endemik Danau Lindu yang sudah dideskripsikan lebih dari satu abad yang lalu (Roux, 1904). Spesies ini umumnya mendiami sungai-sungai kecil yang mengalir ke danau (inlet) dan juga sekitar muara (outlet) Danau Lindu (Uwe Rawa). Spesies ini merupakan hewan nokturnal (aktif pada malam hari) dan dapat mudah dijumpai di selokan di Desa Langko (Pengamatan Pribadi, 2022). Umumnya spesies ini dapat dibedakan dari spesies P. pallida yang merupakan spesies paling mirip dengan P. linduensis melalui bagian H-shaped central depression dan karapas yang lebih bergelembung (Chia and Ng, 2006).
Gambar 8 Parathelphusa linduensis dari Danau Lindu.
D. Udang
Genus Caridina H. Milne Edwards, 1837
6. Caridina linduensis Roux, 1904
Spesies Caridina linduensis merupakan anggota kelompok Krustasea selain Parathelphusa linduensis yang dilaporkan pertama kali keberadaannya lebih dari satu abad silam. Spesies ini dikoleksi oleh Sarasin bersaudara sekitar 1901–1903 yang kemudian dideskripsikan oleh J. Roux Tahun 1904. Spesies ini memiliki ukuran telur yang besar yang merupakan karakteristik udang endemik yang ada di Sulawesi. Spesies ini hanya ditemukan hidup di bagian danau dan wilayah outlet (muara) serta tidak pernah ditemukan di aliran sungai-sungai yang menjadi inlet danau. Distribusi C. linduensis di Danau Lindu meliputi daerah Langko (dekat Balai Benih Ikan), Pulau Bola, Desa Anca, dan daerah muara (Uwe Rawa) yang memiliki kelimpahan tertinggi dibanding wilayah lain (pengamatan pribadi) dan juga pernah ditemukan dekat area Festival Danau Lindu (FDL) Tomado. Spesies ini menempati habitat berupa seresah daun dan kayu lapuk, diantara tumbuhan paku-pakuan, diantara tumbuhan dali (water grass) atau akar-akar tumbuhan ditepian danau. Spesies ini dapat dibedakan dari spesies Caridina lainnya di Danau Lindu berdasarkan ukuran rostrumnya yang lebih panjang (Annawaty & Wowor, 2015).
Gambar 9 Caridina linduensis dari Danau Lindu.
7. Caridina dali Annawaty & Wowor, 2015
Spesies Caridina dali dideskripsikan oleh Annawaty dan Wowor pada Tahun 2015 berdasarkan hasil pengoleksian sampel yang dilakukan Tahun 2011. Spesies ini diberi nama “Dali” yang merupakan sebutan penduduk lokal terhadap tumbuhan yang banyak hidup disekitar danau. Spesies ini dapat ditemukan diwilayah bagian tenggara danau meliputi Poweroa, Air Dingin dan Uwe Kati. Spesies ini banyak mendiami habitat berupa akar tumbuhan air (dali) dan paku-pakuan. Sama halnya dengan C. linduensis, spesies ini juga memiliki ukuran telur yang besar. Caridina dali umumnya memiliki karakter berupa ukuran rostrum yang lebih panjang dari mencapai setengah dari tangkai antennula (lebih panjang dari C. kaili namun lebih pendek dari C. linduensis) (Annawaty & Wowor, 2015).
Gambar 10 Caridina dali dari Danau Lindu.
8. Caridina kaili Annawaty & Wowor, 2015
Berbeda halnya dengan dua spesies udang sebelumnya yang banyak ditemukan di Danau, Caridina kaili justru hanya ditemukan di aliran sungai-sungai kecil yang masuk ke danau (inlet). Spesies ini memiliki kelimpahan yang sangat tinggi meskipun suhu perairan yang menjadi habitatnya lebih dingin dibandingkan danau, yaitu mencapai 19–20°C. Spesies ini diberi nama “Kaili” yang merupakan mayoritas suku yang mendiami wilayah pesisir Danau Lindu dan juga Lembah Palu hingga ke Sigi, Donggala dan Parigi. Spesies C. kaili memiliki rostrum yang sangat pendek dibandingkan C. linduensis dan C. dali. Spesies ini umumnya dapat di temukan pada habitat berupa tumbuhan air ditepian sungai, dibalik bebatuan dan tumpukan daun serta kayu lapuk. Spesies ini lebih banyak terdistribusi di wilayah barat danau dibanding timur, yaitu disekitar Desa Tomado (Uwe Kaongko), Desa Anca (Uwe Posangkara), Uwe Pada dan Uwe Kumo. Spesies ini juga memiliki ukuran telur yang besar yang menandakan spesies ini merupakan spesies endemik. Spesies ini telah diteliti mengenai upaya domestikasi meliputi kemampuan hidup (survival rate) pasca pengangkutan dari habitat aslinya hingga ke tempat pemeliharaan dan menjadi salah satu kandidat spesies yang mudah untuk dikembangkan sebagai hewan peliharaan akuarium (Herjayanto et al. 2019).
Gambar 11 Caridina kaili dari Uwe Posangkara.
Ancaman terhadap Kelestarian Fauna Endemik Lindu dan Upaya Konservasi
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa berbagai fauna yang hidup berdampingan dengan manusia memiliki keterancaman terhadap kelangsungan hidupnya meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda, tidak terkecuali fauna endemik yang ada di Danau Lindu. Berbagai ancaman yang dapat menurunkan populasi fauna tersebut dialam liar, meliputi:
Penurunan kualitas perairan yang disebabkan oleh polutan baik yang berasal dari limbah rumah tangga seperti sampah (botol, bungkusan plastik, popok, dan bentuk lainnya), sisa detergen (sabun mandi, sabun cuci, shampo) maupun yang berasal dari aktivitas pertanian (sisa pupuk, pestisida dan herbisida) serta aktivitas transportasi yang ada di danau (tumpahan minyak dan oli dari kapal dan perahu).
Kerusakan habitat yang dapat terjadi akibat konversi lahan ditepian danau yang menyangkut tumbuhan air yang menjadi habitat bagi ikan dan udang yang kemudian dirubah menjadi lahan pertanian dan daerah penggembalaan kerbau atau kandang ternak serta penambahan pemukiman dan pembuatan pondasi bangunan ditepian danau.
Spesies asing yang berasal dari luar habitat asli Danau Lindu baik yang diintroduksikan secara sengaja untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, seperti Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), Ikan Nila (O. niloticus), Ikan Gabus (Channa striata) hingga spesies hewan lain yang secara tidak sengaja terbawa masuk ke perairan Danau Lindu, seperti Udang Putih (M. lanchesteri), kerang (Corbicula fluminea), dan siput air tawar (Melanoides tuberculata) dan kemungkinan masih banyak spesies lainnya. Spesies tersebut dapat mengancam kelangsungan fauna endemik Danau Lindu melalui kompetisi dalam memperebutkan sumber makanan, tempat memijah (spawning ground), hingga berpotensi sebagai predator bagi fauna endemik, sebagai contoh Ikan Mujair atau Nila dapat memakan larva dari udang Caridina.
Gambar 12 Macrobrachium lanchesteri dari Danau Lindu.
Keberadaan delapan fauna endemik Danau Lindu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang sangat luar biasa berharga. Keunikan endemisitasnya yang tidak dapat ditemukan di tempat lain dimanapun di muka bumi menjadikan Danau Lindu terkenal tidak hanya di Indonesia bahkan sampai ke mancanegara dibuktikan banyaknya peneliti luar yang meneliti spesies-spesies tersebut. Bayangkan para naturalis yang datang ke Lindu lalu menemukan mereka pertama kali sekitar satu abad yang lalu jauh sebelum Indonesia merdeka dengan peradaban yang tentunya juga berbeda dengan saat ini. Keberadaan fauna-fauna endemik Danau Lindu hingga saat ini, melewati lintas masa dan generasi seolah menjadi rekaman hidup peradaban yang ada. Selain itu, ilmu pengetahuan yang terus berkembang menjadikan bukan tidak mungkin bahwa fauna endemik Danau Lindu juga memiliki potensi yang kelak bermanfaat bagi kehidupan manusia. Upaya pelestarian atau konservasi perlu dilakukan dengan mengajak seluruh elemen. Berbagai macam upaya tersebut meliputi:
Melakukan monitoring terhadap populasi spesies endemik secara terus-menerus.
Melakukan upaya pelestarian baik di habitat aslinya (in-situ) di luar habitat aslinya (ex-situ).
Melakukan penelitian terhadap aspek biologi reproduksi dari setiap spesies.
Melakukan monitoring terhadap kualitas perairan.
Membuat produk pangan olahan yang berasal dari spesies invasif yang dapat mengurangi populasinya di danau dengan melibatkan masyarakat.
Melakukan sosialisasi tentang pemahaman pentingnya mengenal dan menjaga kekayaan alam bersama masyarakat dan anak sekolah dan diskusi tentang strategi pelestarian Danau Lindu bersama pemerintah desa, kecamatan, kabupaten bahkan provinsi dan instansi terkait.
Membuat papan himbauan atau tanda pengenal disetiap habitat fauna endemik.
Melakukan kampanye dalam bentuk festival budaya dan lingkungan serta mengenalkan konservasi berbasis kearifan lokal.
Menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal (local NGO) dan peneliti baik dari dalam maupun luar negeri dalam melakukan penelitian.
Berbagai upaya terhadap penelitian tentang ekosistem air tawar telah lengkap dijelaskan dalam artikel Maasri et al. (2021) yang berjudul “A global agenda for advancing freshwater biodiversity research” yang dipublikasikan pada jurnal Ecology Letters, yang meliputi: (i) data infrastructure; (ii) monitoring; (iii) ecology; (iv) management; dan (v) social ecology. Salah satu upaya yang juga bisa dilakukan adalah mengajak pemuda turut serta dalam berbagai upaya konservasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Zoological Community of Celebes (ZCC) yang bekerjasama dengan Yayasan Aksi Konservasi Celebica dalam melakukan monitoring populasi Caridina linduensis dan upaya konservasinya di Danau Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah dengan dukungan dana dari Mohammed bin Zayed Species Conservation Fund.
Info lebih lanjut kunjungi: https://www.speciesconservation.org/case-studies-projects/lindu-shrimp/28372
Referensi
Comments